Faktor Utama Lahirnya Kritikan, Cibiran, Sarkasme, Demonstrasi, Protes Pemerintah

Oleh: Gian Fransiskus Mali

Jika kita melihat kondisi Indonesia saat ini atau periode-periode pemerintahan sebelum ini, baik di pemerintah pusat maupun daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota) hari-harinya selalu diwarnai oleh kritikan, cibiran, sarkasme, protes, demonstrasi, dan berbagai upaya untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Memang tidak salah, tetapi ketika berbagai perilaku tersebut semakin reaktif, dan terlalu sering dilakukan pada akhirnya melahirkan instabilitas. Bahkank orang atau kelompok yang menjadi motor penggeraknya terkadang melalui proses pembentukan opini publik dengan cara yang salah atau terkesan membodohi. Hingga pada akhirnya kita semua berorientasi pada perebutan kekuasaan agar mampu mewujudkan apa yang kita inginkan. Politik tidak sesederhana itu. Tetapi saya tidak akan menjelaskan panjang lebar apa saja ruang lingkup. Saya mau fokus pada mengapa kritikan, protes dsb terjadi.

Pemilu dilandasi oleh upaya menerapkan konsep Liberasi untuk melahirkan pemerintahan oleh dan dari rakyat. Maka mekanismenya:

  1. Partai politik (parpol) merekrut kader atau individu yg unggul dalam masyarakat, atau individu menjadi anggota parpol.
  2. Individu dlam parpol yg mau maju dalam pemilu, turun ke masyarakat mengumpulkan aspirasi rakyat (kebutuhan, kesulitan, masalah yg dialami rakyat).
  3. Individu dan anggota parpol lainnya menyusun visi, misi, dan program kebijakan yg akan ditawarkan utk memenuhi aspirasi rakyat tadi pada masa kampanye.
  4. Jika terpilih, maka si individu tadi bersama parpol tinggal melaksanakan program kebijakannya yg sudah sesuai dgn aspirasi rakyat sejak awal tadi.

Proses ini di Indonesia Terbalik. Kandidat dan parpol biasanya menyusun lebih dulu visi, misi, program kebijakan, lalu ditawarkan ke masyarakat. Tanpa menggali dahulu apa aspirasi rakyat. Maka tidak heran praktek money politic, bagi-bagi sembako, black campaign, politik identitas, hate speech semuanya tercipta. Ormas-ormas (civil society, organisasi pemuda, mahasiswa, LSM dsb) dibayar utk menjadi tim sukses atau tim bayangan belakang layar utk pembentukan opini. Media massa dibayar utk pembentukan opini publik. Selebriti dan tokoh publik dipakai utk menarik pemilih.


Satu contoh, lihatlah drama pemilihan wapres pada pilpres 2019. Jokowi memilih Kyai Ma’aruf pada jam 5 sore hari kamis. Prabowo memilih Sandiaga pada jam 9 malamnya. Besok hari jumat adalah batas terakhir pendaftarannya. Esoknya mereka mendaftar dengan membawa visi, misi, program kebijakannya.

Pertanyaannya kapan kedua capres dan cawapres ini menyusun visi misi dan kebijakannya yg begitu banyaknya? Kapan mereka mengumpulkan aspirasi rakyat? Dugaan saya ada aktor intelektual dibaliknya yg menyusun semua itu, cawapresnya hanya pajangan utk merebut suara. Kita memilih para kandidat yg tidak pernah menggali apa aspirasi kita. Ini mayoritas terjadi jg dlam pemilihan anggota legislatif, dan eksekutif di pusat dan daerah.

Issue Lain:

‌Maka tidak heran kemudian segala macam kritikan, cibiran, sarkasme, demonstrasi, kerusuhan, itu terwujud. Karena aspirasi rakyat tidak pernah digali, dan diwujudkan. Kita hanya menjadi pemilih, bukan melahirkan pemerintah. Maka esensi pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanya jargon omong kosong.