Victor Yeimo: West Papua Fiksi Wakanda

Lebah Toli – Saat ini, disaat PBB ajukan 18 pertanyaan tentang HAM Papua ke Indonesia, TNI turun di kampung-kampung Mnukwar, Wasior dan Wondama paksa rakyat ucapkan pernyataan dukungan kelanjutan Otsus Jilid II sambil direkam. Sementara 12 Jenderal tiba di Timika bicarakan keamanan Freeport. Di Yahukimo, Polisi sita alat berkebun dan berburu (parang, anak panah) milik rakyat. Lalu, Jakarta malas tahu hendak lanjutkan Otsus.

Papua setahun melawan rasis – dan seluruh dunia bangkit melawan, tetapi praktek rasialis tra berhenti. Jakarta anggap Papua itu soal Freeport yang bisa beri nafas ekonomi Indonesia. Soal jaminan eksploitasi SDA melalui Omnibus Law dan rekayasa Otsus. Rakyat pemilik kebun di Boven Digoel dibunuh. Warga mengais sisa ampas emas Freeport dibunuh. Warga cari ikan di areal kantor Freeport dibunuh. Warga bersalah diserahkan ke Kantor Polisi justru dibunuh (kasus Doom, Sorong). Terlalu banyak!

Ini persis bahkan melebihi kelakuan kolonialisme kuno Eropa di Afrika. Ada stereotype yang tertanam kuat dalam otak orang penguasa rasis Indonesia bahwa orang Papua itu primitif, kuno, bodoh, pemabuk, pengacau, kanibal, dsb., yang tak pantas dihargai kemanusiaannya. Supremacy kulit putih dalam praktek kolonialisme semakin tak terbendung, bahkan dalam UU Otsus Papua. Orang Papua dan segala keunikan leluhurnya dianggap mengancam kepentingan penguasa.

Saya pikir pengalaman penindasan ini semakin mengajari orang Papua untuk menentukan nasibnya sendiri. Semakin hari orang Papua mulai meyakini bahwa mereka bisa bersatu dan menentukan masa depannya sendiri. Mereka mulai paham apa itu kolonialisme dan kapitalisme. Mereka mulai pahami bahwa Indonesia bukan masa depannya. Mereka punya jalan pembebasannya sendiri. Mereka terus bangkit dari setiap keterpurukan dan beban penindasan.

Issue Menarik Lainnya:

Rerekonstruksi Paradigma Baru Kebangkitan Papua

Orang Papua Tidak Bahagia dan Kita Tidak Aman di Negeri Sendiri

Saya mengenang Chadwick Boseman, pemeran film Black Panther yang baru saja meninggal kemarin. Film laris yang menginspirasi, bukan saja kulit hitam seluruh dunia itu menunjukkan Chadwick Boseman berjuang melawan stereotip orang kulit hitam di Afrika. Film ini menampilkan karakter gender, sains, budaya, dan revolusioner. Wakanda, dalam film itu, memecahkan berbagai soal secara adat istiadat tetapi juga menggunakan kemampuan ilmiah; melawan pandangan ilmuwan barat yang menganggap gen kulit putih lebih cerdas daripada gen kulit hitam.

Orang Papua, sebagaimana peran antagonis T’Challa (Boseman) dan Killmonger menempuh jalan revolusioner dan damai untuk pembebasan bangsanya; Killmonger memilih kematian lebih baik dari pada hidup dalam perbudakan, “”Kubur saja aku di laut bersama leluhurku, yang melompat dari kapal budak karena mereka tahu bahwa kematian lebih baik daripada hidup dalam perbudakan.” Tetapi T’Challa yakini Bangsa kulit hitam (Wakanda) adalah manusia yang dapat mempertahankan adat budayanya, membangun bangsanya, menguasai ilmu untuk pembebasan dan perdamaian dunia.

Adalah perjuangan, apapun jalannnya, bangsa Papua akan terus mencari jalannya sendiri. Sebagian memilih jalan Killmonger, sebagian dari yang lain memilih jalan T’Challa. Tetapi kesadaran ganda yang diperankan ini mewakili giroh perlawanan orang Papua melawan supremasi kolonialisme Indonesia di West Papua. Setiap anak negeri diatas tanah ini memiliki caranya untuk melawan; dengan semangat nasionalisme, etnosentrisme atau internasionalisme. Tetapi, sekali lagi, anak negeri West Papua tidak tunduk tertindas. Mereka sedang maju, dan kelak tentu Fiksi Wakanda adalah kenyataan di West Papua.

Terulah belajar dan berjuang! Setiap seribu langkah, selalu ada satu langkah pasti. Tan Malaka bilang: Terbentur, Terbentur, Terbentur, Terbentuk!

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.